Jakarta: Pemilik Yayasan Masjid Sejuta Pemuda Sukabumi, Muhammad Sanusi, menilai tragedi di Masjid Agung Sibolga, Sumatra Utara, mencerminkan krisis kemanusiaan yang memprihatinkan. Menurutnya, tindakan kekerasan terhadap musafir di rumah ibadah bertentangan dengan nilai dasar kemasjidan.
Sanusi menjelaskan, pengelola masjid seharusnya memandang dirinya sebagai pelayan, bukan penguasa tempat ibadah. “Masjid itu rumah Allah, dan setiap tamu yang datang adalah tamu-Nya, bukan tamu kita,” ujarnya kepada PRO3 RRI.
Sanusi menegaskan bahwa pengelola masjid perlu membangun budaya pelayanan yang penuh kasih dan menghormati kemanusiaan. Baginya, rumah ibadah semestinya menjadi ruang yang aman bagi siapapun yang membutuhkan tempat istirahat atau berlindung.
“Kalau kita sambut dengan kecurigaan, kita sedang kehilangan makna dari fungsi masjid itu sendiri,” ucapnya.
Ia menyebut masih banyak masjid yang masih menutup diri, dan hanya buka pada waktu-waktu ibadah tanpa mengembangkan fungsi sosialnya. Sanusi berpandangan para takmir seharusnya meneladani Rasulullah yang menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan, sosial, dan kemanusiaan.
“Dulu masjid adalah tempat ibadah sekaligus ruang belajar, musyawarah, dan solidaritas umat,” ucap Sanusi.
Ia menuturkan bahwa Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi menerapkan konsep pelayanan 24 jam dengan sistem keamanan yang teratur. Menurutnya, keterbukaan tetap harus diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia dan prosedur yang jelas.
“Masjid kami terbuka bagi siapa pun, tapi ada SOP dan koordinasi dengan warga untuk menjaga keamanan,” kata dia.
Sebagai penutup, Sanusi berharap semakin banyak masjid yang menghidupkan kembali fungsi sosial dan kemanusiaannya. Ia menyebut keberadaan masjid harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di setiap waktu, bukan hanya saat ibadah.
“Yang penting bukan siapa paling besar, tapi siapa yang paling bermanfaat bagi umat,” ujarnya menutup perbincangan. Dikutip dari RRI.co.id
